Tanggapan Guru: Gaji Guru Kecil, Apakah Harus Ditanggung Masyarakat? - SekolahDasar.Online

Sabtu, 09 Agustus 2025

Tanggapan Guru: Gaji Guru Kecil, Apakah Harus Ditanggung Masyarakat?

Gaji Guru Kecil: Apakah Negara Harus Mundur dari Tanggung Jawab?

Oleh: Dendi Suparman

Gaji Guru Kecil


Pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani baru-baru ini kembali menggema di ruang publik. Dalam forum resmi, beliau menyinggung kecilnya gaji guru dan dosen, lalu melontarkan pertanyaan terbuka yang mengundang renungan: "Apakah semua harus dari uang negara? Atau ada partisipasi masyarakat?"

Sebagai seorang guru sekaligus pegawai negeri sipil, saya terdiam sejenak. Bukan karena tersinggung, melainkan karena tersentak. Sebuah pertanyaan sederhana, namun menyentuh dasar pemahaman kita tentang siapa yang seharusnya bertanggung jawab terhadap masa depan bangsa.

Guru Bukan Sekadar Profesi, Tapi Pilar Peradaban

Kita tahu, pendidikan bukan sekadar soal bangku dan papan tulis. Pendidikan adalah jalan panjang membentuk karakter, membangun daya pikir, dan membentuk arah bangsa. Dan guru—bersama dosen—adalah ujung tombaknya. Jika pilar ini goyah, maka bangunan masa depan ikut berguncang.

Namun, bagaimana bisa kita berharap pada seorang guru yang harus terus berpikir tentang cara bertahan hidup karena gajinya tak cukup untuk kebutuhan dasar? Bagaimana bisa kami, para pendidik, diminta bekerja sepenuh hati, sementara pengakuan terhadap profesi kami seakan selalu menjadi nomor sekian?

Menengok ke Negara Lain: Bukan Soal Kaya, Tapi Prioritas

Mari sejenak menengok ke luar negeri. Australia, Finlandia, dan Jepang memberikan pelajaran penting: bahwa sejahteranya guru bukan hasil dari limpahan uang, tetapi hasil dari keberpihakan politik dan kebijakan negara.

  1. Di Australia, gaji guru pemula bisa mencapai Rp 700 juta per tahun. Dan ya, itu dibiayai negara, bukan iuran masyarakat.
  2. Di Finlandia, hanya 10% pelamar terbaik yang bisa menjadi guru. Mengapa? Karena guru adalah profesi prestisius yang diatur dan dibiayai penuh oleh negara.
  3. Di Jepang, gaji guru tetap dipertahankan tinggi bahkan di masa krisis. Pemerintah paham, menghemat dari guru berarti menabung untuk kehancuran masa depan.

Ketiga negara itu menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat penting, tetapi bukan untuk menutup kewajiban negara.

Indonesia Harus Belajar: Pendidikan Bukan Sekadar Angka

Di Indonesia, kita sering terjebak pada logika “kemampuan anggaran”. Padahal, persoalan gaji guru bukan soal bisa atau tidak, melainkan soal mau atau tidak. APBN kita sudah mengalokasikan 20% untuk pendidikan, tapi berapa persen yang benar-benar sampai ke guru?

Mengharapkan masyarakat berpartisipasi dalam pembiayaan gaji adalah langkah mundur. Itu bukan kolaborasi, tapi justru delegasi tanggung jawab negara kepada rakyatnya.

Kami Tidak Menuntut Lebih, Kami Meminta yang Layak

Sebagai guru, saya tidak minta dipuja. Tidak juga meminta bergaji miliaran. Tapi saya ingin profesi ini dipandang dengan layak, dihargai secara wajar, dan diprioritaskan dalam kebijakan publik.

Kami sudah terbiasa berkorban, mengajar di pelosok, di ruang sempit, dengan sarana terbatas. Tapi jika sampai negara mulai mempertanyakan apakah gaji guru sepenuhnya harus dari APBN, maka kami punya hak untuk khawatir.

Karena hari ini yang dipertanyakan gajinya, besok bisa jadi yang dipertanyakan adalah peran dan keberadaan kami.

Investasi Bangsa Ada di Ruang Kelas

Mari kita ingat: masa depan Indonesia sedang duduk di bangku sekolah hari ini. Jika negara ingin generasi unggul, maka investasi terbaik bukan di gedung megah atau teknologi canggih—melainkan di guru yang berdiri di depan kelas dengan penuh dedikasi.

Partisipasi masyarakat? Tentu, kami terbuka. Tapi bukan untuk menutupi kewajiban negara, melainkan untuk memperkuat ekosistem pendidikan yang berpihak pada masa depan.

🖋️ Dendi Suparman adalah guru sekolah dasar, penggerak komunitas belajar, dan pegiat literasi pendidikan di  sekolahdasar.online

Comments

mohon sopan dan dewasa
EmoticonEmoticon